Saturday, February 27, 2016

Buku: Dan Brown " The Da Vinci Code" Indonesia Language


The Da Vinci Code terjual sebanyak 80 juta eksemplar. Buku ini adalah sebuah novel karangan Dan Brown yang diterbitkan pada 2003. Kisah dalam buku ini merupakan gabungan gaya detektif,thriller dan teori konspirasi, yang telah membantu memopulerkan perhatian terhadap sebuah teori-teori tentang legenda Piala Suci (Holy Grail) dan peran Maria Magdalena dalam sejarah Kristen – teori-teori yang oleh Kristen dipertimbangkan sebagai ajaran sesat dan telah dikritik sebagai sejarah yang tidak akurat. Buku ini adalah bagian kedua dari trilogi yang dimulai Dan Brown dengan novel Malaikat dan Iblis (Angels and Demons) pada tahun 2000, yang memperkenalkan karakter Robert Langdon.
Sinopsis:
Kisah berawal dari sebuah ruangan di dalam sebuah museum yang dikenal sebagai museum terbesar dan termegah di dunia, Louvre, yang terletak di jantung kota paris. Jacques Sauniere tampak tengah berjuang melawan maut, melawan sesosok albino yang berusaha membunuhnya dan merebut rahasia dahsyat yang sudah ia jaga selama lebih dari beberapa dekade, dibawah naungan persaudaraan. Tapi sosok albino tersebut berhasil melukainya, cepat atau lambat kematian akan segera datang, dan ia tidak punya banyak waktu. Satu-satunya pilihan adalah : ia harus meninggalkan pesan kepada seseorang agar rahasia penting itu tidak musnah bersama kematiannya. Dan satu-satunya orang yang ia yakin bisa adala : ROBERT LANGDON.

Robert Langdon masih menikmati kepenatannya setelah seharian penuh berkutat dengan diskusinya tentang simbol-simbol historis di The American University of Paris, ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya di Hotel Ritz. Ia enggan menerima tamu selarut itu, tapi ia tidak bisa menolak kehadiran tamunya dikarenakan selembar foto yang amat sangat mengejutkannya.

Foto tersebut menggambarkan sesosok tubuh kaku, yang sebelum kematiannya tampak melakukan hal-hal aneh yang tidak dapat Langdon temukan alasannya. Ia terbujur kaku, merentangkan tangan dan kakinya, di dalam sebuah lingkaran darah yang menyeramkan. Aneh, pikir langdon.

Akhirnya, tamu yang ternyata seorang petugas kepolisian tersebut membawa Langdon ke TKP sebagai saksi. Dengan pertimbangan, Langdon adalah seorang simbolog terkemuka, dan ia diharapkan dapat memecahkan simbol-simbol yang ada di sekitar korban.

Langdon terkejut ketika mengetahui TKP-nya adalah museum Louvre dan semakin terkejut ketika mengetahui korbannya adalah Jacques Sauniere, sang kurator louvre. Tetapi keterkejutannya tidak berhenti sampai disitu, posisi mayat yang aneh, serta simbol-simbol aneh yang berada tepat di samping mayat Sauniere terbaring.

Baca Selengkapnya: "The Davinci Code"

Friday, February 26, 2016

Buku : Dan Brown " Angels And Demons " English language


Angels and Demons terjual sebanyak 39 juta eksemplar. Buku ini adalah adalah novel karya Dan Brown yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2000. Novel ini memperkenalkan tokoh Robert Langdon, yang juga kemudian menjadi tokoh utama pada novel Dan Brown yang lebih dikenal, The Da Vinci Code. Buku ini juga menggunakan gaya penulisan dan cerita yang sangat mirip denganThe Da Vinci Code, misalnya adanya teori konspirasi organisasi rahasia, alur waktu satu hari, dan Gereja Katolik Roma. Novel ini bercerita tentang konflik antara organisasi kuno, Illuminati, dengan Gereja Katolik Roma. Novel ini juga membahas kontroversi “Antimateri”, yang disebut-sebut sebagai energi alternatif masa depan, tetapi dapat menimbulkan efek negatif, yaitu menjadi senjata pemusnah massal.

Sinopsis: 
Cerita dimulai saat Robert Langdon, simbologis senior dari Universitas Harvard, mendapat panggilan untuk mendeteksi ambigram yang bertuliskan nama kelompok persaudaraan Illuminati.
Yang membuat ngeri, Robert Langdon tidak menghadapi pembunuh biasa, melainkan sebuah kelompok persaudaraan pembenci Vatikan : Illuminati. Illuminati adalah kelompok ilmuwan dalam sebuah perkumpulan persaudaraan kuno, yang dalam keberadaannya selalu bentrok dengan gereja. Karena penemuan-penemuan ilmuwan yang seringkali dianggap menghilangkan keberadaan Tuhan. Ilmuwan yang selalu mencari tahu jawaban dari setiap pertanyaan di dunia ini. Ilmuwan selalu mengungkap misteri ketuhanan, termasuk misteri penciptaan dunia. Satu yang tersisa, misteri penciptaan manusia. Ilmuwan mempercayai bahwa semua yang ada tercipta atas keberadaan materi, dan bukan tercipta dari ketiadaan.
Leonardo Vetra, seorang profesor dari sebuah lembaga riset di Swiss (CERN) adalah ilmuwan sekaligus seorang religi, tengah mengadakan riset untuk mengetengahi perseteruan ini. Vetra diketemukan tewas di ruang kerjanya. Dengan di dadanya tercap sebuah symbol illuminati. Kelompok illuminati, yang telah dianggap lenyap dari muka bumi sejak lebih dari 400 tahun bangkit kembali. Penemuan sebuah antimateri yang diungkap secara jelas adalah penemuan baru yang mengegerkan dunia. Yang bisa menyelamatkan dunia atau menghancurkannya. Lima gram antimateri cukup untuk meledakkan semua yang ada pada radius 0.5 mil.
Antimateri itu dicuri dari laboratorium Vetra. Kemudian diketahui bahwa antimateri itu berada di Vatikan, di negara seluas 44ha. Celakanya, dalam waktu 24 jam antimateri itu akan meledakkan Vatikan, dan Langdon tidak tahu di mana tepatnya antimateri itu akan diledakkan.. Celakanya lagi, di Vatikan sedang diadakan acara untuk memilih Paus yang baru.
Robert Langdon pun terbang ke Vatikan dengan ditemani Vittoria. Berdua, mereka memulai perburuan yang menyeramkan ke ruang-ruang bawah tanah yang terkunci rapat, kuburan-kuburan berbahaya, katedral-katedral yang lengang, dan tempat yang paling misterius di dunia, yaitu markas Illuminati yang lama terlupakan. Sang pembunuh mengatakan bahwa akan ada 4 kardinal lain yang terbunuh malam ini di empat tempat  yang berbeda.
Robert Langdon pun Perburuan dimulai dengan mencari manuskrip peninggalan Galileo di ruangan arsip Vatikan. Dari sana didapatkan petunjuk bahwa empat tempat itu adalah gereja Illuminati. Langdon berlomba dengan waktu untuk menemukan sang pembunuh di gereja-gereja tersebut, dengan harapan dapat mencegah pembunuhan dan mengetahui di mana antimateri itu disimpan. Tapi sayang, Langdon selalu terlambat ketika hendak mencegah pembunuhan.
Hingga pada akhirnya, seorang camerlengo (asisten Paus), mendapat wahyu dari Tuhan bahwa antimateri itu diletakkan di makam Santo Petrus. Antimateri pun diledakkan di tempat yang aman.
Tapi ternyata semua kekacauan ini adalah perbuatan sang camerlengo sendiri. Ia ingin mencari sensasi agar dapat terpilih jadi Paus. Rencana itu digagalkan Langdon. Ia mendapat rekaman dari Kohler, bukti bahwa camerlengo itu telah berbohong. Merasa malu,camerlengo itu pun bunuh diri.

Read More Buku Bahasa Ingris: Angels And Demos

Wednesday, February 24, 2016

Buku : Kumpulan Cerpen Karangan ali akbar navis 1955


Tentang Tokoh

Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padangpanjang, Sumatera Barat, 17 November 1924 – meninggal 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.

Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.
Beberapa karyanya yang amat terkenal adalah:

Surau Kami (1955)
Bianglala (1963)
Hujan Panas (1964)
Kemarau (1967)
Saraswati
Si Gadis dalam Sunyi (1970)
Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)
Di Lintasan Mendung (1983)
Dialektika Minangkabau (editor, 1983)
Alam Terkembang Jadi Guru (1984)
Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)
Cerita Rakyat Sumbar (1994)
Jodoh (1998)

Sebagai seorang penulis, ia tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja menulis. Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang ditulisnya sendiri, yakni Jodoh (cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldemroep, 1975), Cerita 3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina Buta, Perebutan, Kawin (cerpen pemenang majalah Femina, 1979), Kisah Seorang Pengantin, Maria, Nora, dan Ibu. Ada yang ditulis tahun 1990-an, dan ada yang ditulis tahun 1950-an.

Baca Semua Cerpen Karangan AA.Navis: Buku Karya Alii Akbar Navis

Novel Klasik Indonesia: Di Bawah Lindungan Ka'bah Karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah ( HAMKA )

Ilustrasi Foto By Google Image

Tentang Tokoh:
Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah, pemilik nama pena Hamka (lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia melewatkan waktunya sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah sampai akhir hayatnya. Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.

Dibayangi nama besar ayahnya Abdul Karim Amrullah, Hamka sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di Thawalib, menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padangpanjang membesarkan Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke Mekkah. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama sementara waktu di Medan. Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat. Lewat karyanya Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Hamka melambung sebagai sastrawan.

Foto Tokoh By Google Image


Selama revolusi fisik, Hamka bergerilya dalam Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) menyusuri hutan pengunungan di Sumatera Barat untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Meski mendapat pekerjaan di Departemen Agama, Hamka mengundurkan diri karena terjun di jalur politik. Dalam pemilihan umum 1955, Hamka dicalonkan Masyumi sebagai wakil Muhammadiyah dan terpilih duduk di Konstituante. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Maysumi menentang komunisme dan gagasan Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungannya dengan Sukarno. Usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan malalah Panji Masyarakat tetapi berumur pendek, dibredel oleh Sukarno setelah menurunkan tulisan Hatta—yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden—berjudul "Demokrasi Kita". Seiring meluasnya pengaruh komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Dalam keadaan sakit sebagai tahanan, ia merampungkan Tafsir Al-Azhar.

Sinopsis: 
Tanpa memberi tahu siapa pun, Hamid meninggalkan kampungnya menuju Siantar, Medan. Kepergiannya kali ini bukan lagi untuk menuntut ilmu di sekolah, seperti yang ia lakukan beberapa tahun yang lalu. Hamid, ibarat orang sudah “jatuh tertimpa tangga pula”. Setelah Haji Jafar, orang yang selama ini banyak menolongnya, berpulang ke rahmatullah, tak lama kemudian ibu kandung yang dicintainya menyusul pula ke alam baka. Hamid kini tinggal sebatang kara. Ayahnya telah meninggal ketika ia berusia empat tahun. Dalam kemalangannya itu, mamak Asiah dan anaknya, Zainab, tetap menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Oleh karena itu, Mak Asiah begitu yakin terhadap Hamid untuk dapat membujuk Zainab agar mau dikawinkan dengan saudara dari pihak mendiang suaminya. Dengan berat hati, Hamid mengutarakan maksud itu walaupun yang sebenarnya, ia sangat mencintai Zainab. Namun, karena Zainab anak orang kaya di kampung itu, ia tak berani mengutarakan rasa cintanya itu.
Setibanya di Medan, Hamid sempat menulis surat kepada Zainab. Isi surat itu mengandung arti yang sangat dalam tentang perasaan hatinya. Namun, apa mau di kata, ibarat bumi dengan langit, rasanya tak mungkin keduanya bersatu. Meninggalkan kampung halamanya berikut orang yang dicintainya adalah salah satu jalan terbaik. Begitu menurut pikiran Hamid
Dari Medan, Hamid meneruskan perjalanan ke Singapura dan akhirnya ia sampailah di tanah suci, Mekah. Di Mekah ia tinggal dengan seorang Syekh, yang pekerjaanya menyewakan tempat bagi orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji.
Telah setahun Hamid tinggal di kota suci itu. Pada musim haji, banyaklah orang datang dari berbagai penjuru. Tanpa di duganya, teman sekampungnya, menyewa pula tempat Syekh itu. Orang yang baru datang itu bernama Saleh, suami Rosna, yang hendak menuntut ilmu agama di Mesir setelah ibadah haji selesai.
Dari pertemuan yang tak disangka-sangka itu, ternyata banyak sekali berita dari kampung halaman-terutama berita tentang Zainab-yang sejak di tinggalkan Hamid dan tidak jadi di kawainkan dengan saudara ayahnya itu, kini sedang dalam keadaan sakit-sakitan. Hamid sangat senang hatinya mendengar kabar itu, tetapi ia harus menyelesaikan  ibadah hajinya yang tinggal beberapa hari. Ia bermaksud segera pulang ke kampung. Sementara itu Saleh, teman Hamid, segera mengirim surat kepada istrinya. Surat Saleh diterima istrinya yang segera pula meberitahukannya kepada Zainab. Alangkah senang hati Zainab mengetahui bahwa orang yang di cintainya ternyata masih ada. Namun, penyakit yang diterima Zainab makin hari makin parah. Dengan segala kekuatan tenaganya ia menulis surat untuk orang yang dikasihinya (hlm.71).
Surat yang dikirim Zainab diterima Hamid. Namun, rupanya isi surat itu sangat mempengaruhinya. Dua hari setelah itu, bersmaan keberangkatan para jemaah haji ke Arafah guna mengerjakan wukuf, kesehatan Hamid terganggu. Walaupun demikian, Hamid tetap menjalankan perintah suci itu.
Sekembalinya Hamid dari Arafah, suhu badanya semakin tinggi. Apalagi di Arafah, udaranya sangat panas. Hamid tak mau menyentuh makanan sehingga badanya menjadi lemah. Pada saat yang sama, surat dari Rosna di terima Saleh yang menerangkan bahwa Zainab telah wafat. Kendati Hamid dalam keadaan lemah, ia mengetahui bahwa ada surat dari kampunganya. Firasatya begitu kuat pada berita surat yang di sembunyikan Saleh. Hamid menanyakan isi surat itu. Dengan berat hati Saleh menerangkan musibah kematian Zainab. “O, jadi Zainab telah mendahului kita?” tanyanya pula (hl.77).
Ketika akan berangkat ke Mina, Hamid tak sadarkan diri. Temannya, Saleh, terpaksa mengupah orang Badui untuk membawa Hamid ke Mina. Dari situ mereka menuju Masjidil Haram-kemudian mengelilingi kabah sebanyak tujuh kali. Tepat diantara pintu kabah dan batu hitam, kedua orang Badui itu diminta berhenti. Hamid mengulurkan tangannya, memmegang kiswah samba memanjatkan doa yang panjang: “Ya Rabbi, Ya tuhanku, Yang maha Pengasih dan Penyayang!” Semakin lama suara Hamid semakin terdengar pelan. Sesaat kemudian, Hamid menutup matanya untuk selama-lamanya.


Monday, February 22, 2016

Novel: A Tale of Two Cities Karya Charles Dickens ( English language )


Sekilas Tentang Charles Dickens:
Charles Dickens (Charles John Huffam Dickens) lahir di Landport, Portsmouth, pada 7 Februari 1812. Charles adalah anak kedua dari delapan bersaudara yang lahir dari pasangan John Dickens (1786-1851), seorang juru tulis di Kantor Keuangan Angkatan Laut, dan istrinya, Elizabeth Dickens (1789-1863). Pada tahun 1814, keluarga Dickens pindah ke London dan dua tahun kemudian ke Chatam, Kent, tempat Dickens menghabiskan masa kecilnya. Karena kesulitan keuangan, mereka kembali pindah ke London pada tahun 1822. Di sana, mereka tinggal di Camden Town, sebuah pemukiman masyarakat miskin.





Sinopsis:

It was the best of times, it was the worst of times, it was the age of wisdom, it was the age of foolishness, it was the epoch of belief, it was the epoch of incredulity, it was the season of Light, it was the season of Darkness, it was the spring of hope, it was the winter of despair, we had everything before us, we had nothing before us, we were all going direct to Heaven, we were all going direct the other way—in short, the period was so far like the present period, that some of its noisiest authorities insisted on its being received, for good or for evil, in the superlative degree of comparison only. 


There were a king with a large jaw and a queen with a plain face, on the throne of England; there were a king with a large jaw and a queen with a fair face, on the throne of France. In both countries it was clearer than crystal to the lords of the State preserves of loaves and fishes, that things in general were settled for ever. It was the year of Our Lord one thousand seven hundred and seventy-five. Spiritual revelations were conceded to England at that favoured period, as at this



Mrs. Southcott had recently attained her five-andtwentieth blessed birthday, of whom a prophetic private in the Life Guards had heralded the sublime appearance by announcing that arrangements were made for the swallowing up of London and Westminster. Even the Cock-lane ghost had been laid only a round dozen of years, after rapping out its messages, as the spirits of this very year last past (supernaturally deficient in originality) rapped out theirs. Mere messages in the earthly order of 
events had lately come to the English Crown and People, from a congress of British subjects in America: which, strange to relate, have proved more important to the human race than any communications yet received through any of the chickens of the Cock-lane brood.

Read More:  A tale of Two Cities

Cerpen: Penjual Koran Satu Lengan

Ilustration Foto By Google Image

Oleh Arswendo Atmowiloto
Lelaki penjual koran dengan satu lengan sudah menceritakan semua. Sehingga tak ada yang perlu menanyakan siapa namanya. Atau alamatnya, karena dia bisa dilihat di perempatan jalan, saat lampu merah. Sebenarnya bukan perempatan jalan dalam arti sebenarnya. Karena jalanan itu tidak lurus, sedikit melengkung, menikung, sehingga lampu merah atau hijau bisa membuat bingung untuk pengendara dari arah mana. Juga tak ada yang bertanya kenapa tangannya buntung. Wajahnya tidak murung. Malah mengesankan beruntung memperoleh sinar matahari dari masih sangat pagi hingga lewat tengah hari. Yang tidak membuatnya lebih hitam, dan dikenali karena bau tubuhnya yang diteruskan angin yang lelah, yang kalah oleh asap apa saja.
Karena dianggap sudah terceritakan semua, tak ada yang bertanya apakah dia punya keluarga, atau pernah berkeluarga, atau istrinya dua. Yang agak diketahui tetangga, pernah ada gadis masih sangat muda tinggal di kontrakannya. Gadis belia itu pembantu rumah tangga keluarga kaya, yang rumahnya sering dilewati penjual koran yang meminjami majalah atau tabloid. Umurnya sekitar 15 tahun, senyumnya—atau matanya—anggun, hanya agak malu-malu karena seakan memiliki jakun. Gadis itu datang ke kontrakannya dan mengatakan akan tinggal selama seminggu. Pembantu lain dapat liburan Lebaran, tapi gadis yang alisnya tebal dengan suara kental tak punya rumah tinggal. Lelaki penjual koran itu menasihati, sebaiknya mereka menikah saja. Gadis itu mau, dan meyakini bahwa dengan tangan satu, lelaki itu mampu merayu. Lelaki itu juga memberi saran, sementara gadis bertubuh sintal itu bekerja sebagai pembantu interval yang sangat dibutuhkan. Lumayan dapat duit tambahan, dan siapa tahu ketemu majikan yang khilaf. Dari koran pula didapat alamat, dan sejak pergi ke sana, tak pernah kembali lagi. Lelaki itu juga tidak mencari, tidak merasa rugi, meskipun kadang ingat saat mandi bersama.
Ilustrasi Foto By Google Image
Lelaki itu lebih suka bercerita bahwa adakalanya tangannya menjadi berat, kalau banyak koran menambah halaman, tapi tidak menambah harga. Atau malah diberi jaket bagus bertuliskan nama media, karena biasanya lengan panjang dan menambah panas. Paling senang kalau dagangannya diborong oleh pembeli dadakan karena tidak ingin majalah beredar. Harganya bisa mahal, tapi itu jarang. Dia mengambil dagangan sesuai kemampuan menjual, bukan konsinyasi. Kalau tak laku, itu tanggung jawabnya. Kalau siang, temannya menjual seribu rupiah, tapi dia tetap mempertahankan. Kata-katanya sedikit mengherankan. ”Saya tak tega. Walau sudah siang, rasanya beritanya tidak harus menjadi murah.”  Ia mengatakan dengan wajah tetap ramah, tidak marah, tidak juga gelisah.
Entah kenapa tampilannya tidak terlihat resah, dan tidak pernah menyalahkan. Bahkan ketika perempatan jalan tempatnya bekerja menjadi bubrah lantaran di atasnya akan dibangun jembatan layang, dia sama sekali tidak gundah. Langkahnya tetap gagah meloncati batu atau semen berbongkah, dengan wajah tetap tengadah ke jendela mobil mewah atau biasa. Semangatnya sama sekali tidak goyah. Malah memberi khotbah pemuda yang baru pulang kuliah. Katanya, ”Yang menjadi korban jalan layang adalah para pengasong. Bahkan kalau di jalan layang itu ada kemacetan, kita tetap tak boleh jualan di situ.” Segala apa dihadapi dengan tabah. Sewaktu listrik di rumah kontrakannya sering mati mendadak, ia tidak berteriak atau memaki. Ia bahkan memuji petugas listrik yang baik hati.
”Baik hati kepada nyamuk. Dengan matinya aliran listrik, nyamuk yang tak bisa masuk kamar berpendingin kini punya kesempatan. Dengan lampu penerangan yang gelap, nyamuk lebih meluasa menyergap.” Kalau tetangga kontrakan mengomel soal laporan listrik padam yang ditanya segala apa sehingga menjengkelkan, ia menasihati: ”Semua laporan pelayanan sosial dibuat tidak menyenangkan. Tujuannya agar kalian tidak perlu melapor, membuang pulsa, dan menjadi sakit hati.” Intinya: ”Para petugas sudah akan memperbaiki tanpa adanya laporan.”
Lelaki berlengan satu itu menyukai pekerjaannya, melakukan tanpa menggerutu. Bahkan tak tergoda menjadi pengemis seperti perempuan yang menutupi sebagian wajahnya dengan selendang biru. Yang pendapatannya jauh lebih besar, tanpa perlu mengambil dagangan dan menyetorkan penghasilan, seperti dirinya. Perempuan yang menengadahkan tangannya dan memamerkan wajah pilu itu mendapatkan penghasilan dari rasa iba sekurangnya setiap sepuluh mobil yang dilalui. Satu kali pemberian bisa seharga koran yang dijualnya. Yang diterima secara utuh. ”Kamu lebih beralasan mengemis karena tanganmu satu.” Tapi ia tak melakukan itu. Juga tidak ketika beberapa ibu-ibu yang lain, berjajar menjadi joki 3 in 1.Padahal, sekali diajak, pendapatannya cukup besar dibandingkan dengan dirinya.
”Tak apa. Selama masih ada orang membeli koran di jalanan, saya masih akan jualan.” Kalau ada yang mulai dikeluhkan terutama karena sinar matahari makin terik, dan pantulan pada aspal semakin keras menusuk matanya. Sehingga kadang membuat agak kabur, mengernyitkan jidat dan hati-hati. Juga kalau hujan menderas, ia berteduh dan mengutamakan koran dagangannya, bukan hanya tubuhnya. Selebihnya biasa-biasa saja, dan ia menyukai semuanya: panas, hujan atau biasa.
Ilustrasi Foto By Google Image

Selalu di jalan yang sama, pada saat-saat tertentu yang sama, ia mengenali, ia hafal para pengguna jalan. Baik yang selalu tergesa atau yang tidak tiap hari melalui jalan itu. Baik yang berpasangan atau yang sambil mencukur kumis, atau sibuk berteleponan, atau yang tidur lelap. Baik yang menggunakan mobil pribadi—yang kemudian berganti lebih baru, atau berdiri di pintu mobil angkutan seolah siap turun. Semua menarik diamati, tetapi ada satu yang memikat. Seorang perempuan—ia yakin itu perempuan walau tubuhnya ditutup jaket dan helm, dengan sepeda motor warna merah. Karena selalu berhenti di dekat lampu merah. Lama. Matanya menatap sekitar—walau tersembunyi di balik helm. Tadinya ia mengira perempuan itu menunggu kesempatan untuk melintas saat jalanan sepi, atau ada lampu hijau. Tapi karena lama, ia ingin tahu apa yang dilakukan perempuan bersepeda motor itu. Baru kemudian ia tahu perempuan itu menunggu sesuatu. Baru setelah sesuatu itu dilihat atau diketahui, perempuan itu berlalu. Sesuatu yang ditunggu itu, menurutnya kendaraan lain yang melintas. Jadi setelah melihat kendaraan yang ditunggu terlintas, perempuan itu meneruskan perjalanan. Ia kemudian tahu bahwa yang ditunggu adalah mobil warna silver yang keluar dari salah satu perempatan. Mungkin sekali perempuan itu kekasih pemakai mobil, mungkin apanya begitu, mungkin kesetiaan yang langka, mungkin lebih dari semuanya.
Lelaki penjual koran sesekali ingin memberi tahu apakah mobil silver itu sudah lewat atau belum. Tapi ia tak ingin campur tangan, dan hampir selalu perempuan itu tiba lebih dulu.  Jadinya ia menikmati saja, seolah tak tahu apa-apa, tapi terasakan tungguan kerinduan itu. Lelaki itu ikut merasa bahagia, menelan ludahnya, berusaha tersenyum kepadanya. Tak ada jawaban, karena kalaupun ada juga tak terlihat tak tersirat karena helm menutup rapat.
Ketika koran-koran terbit di hari libur nasional, ia tidak menjajakan. Mungkin sekali karena perempuan berhelm itu tidak akan muncul. Ia bisa merasakan menunggu perempuan itu, sama dengan yang dirasakan perempuan. Mungkin juga sama: perempuan itu tak tahu ditunggu olehnya, atau pengemudi mobil silver itu ditunggui perempuan berhelm. Padahal pada hari libur ia tak ke mana-mana. Di kamar kontrakannya, membacai koran lama yang tak terjual, yang disusun bertumpuk urutan tanggal terbit. Pernah ada yang datang mencari terbitan tanggal berapa, ia senang kalau bisa memberikan. Dan menolak dibayar lebih mahal. ”Menjadi sangat berguna tidak selalu harus menjadi lebih mahal.”  Ia betah di rumah—atau kamar kontrakan, yang sudah dihuni belasan tahun, yang uang sewanya dibayar setiap bulan, yang tetangga kiri kanan berubah dan berganti, yang penagihnya berganti, yang uang sewanya bertambah, yang udaranya makin gerah.
Pernah, lelaki berlengan satu itu berjalan menyusuri jalanan di mana perempuan bermotor itu muncul. Menelusuri jalanan, memandangi kira-kira dari sebelah mana, bagian mana perempuan itu mengontrak. Siapa keluarganya, berapa nilai kontraknya, atau umurnya, atau seperti apa wajahnya. Tapi usaha itu tak diteruskan, karena merasa itu tak mengurangi rasa ingin tahunya, dan tidak mengurangi kagum pada kesetiaan perempuan itu. Sebagai penjual koran ia terbiasa dengan potongan-potongan kehidupan yang berdiri sendiri, tak selalu berhubungan satu dengan yang lain. Seperti juga anak gadis yang pernah menginap di kamar kontrakannya yang tak harus ada lanjutan kisahnya sekarang di mana dan sebagai apa, atau masih ingatkah padanya. Seperti juga perempuan berjaket ketat rapat apa benar menunggui siapa dan apa hubungannya.
Berita yang dibaca dalam koran dan majalah yang dijajakan adalah potongan yang berdiri sendiri. Yang heboh hari ini, roboh sendiri hari berikutnya—atau minggu berikutnya. Yang ceroboh hari ini, atau melakukan tindakan bodoh, yang tergopoh diberitakan, terlupakan kemudian. Ia terbiasa membaca begitu di halaman satu, dan merasa tak terlalu perlu melanjutkan di halaman sambungan. Ia melihat iklan-iklan gede, dan melupakan bahwa jalanan tempatnya bekerja tak kunjung selesai pembuatannya. Kalau pun kemudian merasa satu dan hal lain berhubungan, karena ia menghubung-hubungkan, seperti perempuan bersepeda motor menunggui mobil silver lewat. Apa benar begitu, ia juga tak tahu persis. Namun ia cukup puas dengan apa yang diperkirakan, dan merasa menemukan jawaban. Seperti juga mereka yang melihatnya, mengenali, dan memperoleh jawaban kenapa lengannya satu, kenapa panas matahari kian menyakitkan mata, dan dagangan yang dibawanya makin tebal, makin berat. Semua ini membuat  bahagia, sehingga kemudian ia mengajak tetangga sebelah pintu untuk menggantikan berjualan di lampu merah.  ”Saya makin tua, tapi perempatan itu tetap muda. Masih selalu ada pembeli di sana. Dan mereka tidak bertanya kenapa bukan saya yang berjualan.”
Lelaki satu lengan itu masih di perempatan. Kali ini ia memperhatikan dan cemas, kalau-kalau perempuan bermotor itu tak terlihat.

Karya Ilustrasi: Suprobo Prasada
Terbit di Harian Kompas pada 11 Mei 2014

Saturday, February 20, 2016

Cerita Anak: Enam Serdadu


Pada suatu masa ada seorang pria yang hebat, dia telah membaktikan diri pada negara dalam perang, dan mempunyai keberanian yang luar biasa, tetapi pada akhirnya dia dipecat tanpa alasan apapun dan hanya memiliki 3 keping uang logam sebagai hartanya.
"Saya tidak akan diam saja melihat hal ini," katanya; "tunggu hingga saya menemukan orang yang tepat untuk membantu saya, dan raja harus memberikan semua harta dari negaranya sebelum masalah saya dengan dia selesai."
Kemudian, dengan penuh kemarahan, dia masuk ke dalam hutan, dan melihat satu orang berdiri disana mencabuti enam buah pohon seolah-olah pohon itu adalah tangkai-tangkai jagung. Dan dia berkata kepada orang itu,
"Maukah kamu menjadi orangku, dan ikut dengan saya?"
"Baiklah," jawab orang itu; "Saya harus membawa pulang sedikit kayu-kayu ini terlebih kerumah ayah dan ibuku." Dan mengambil satu persatu pohon tersebut, dan menggabungkannya dengan 5 pohon yang lain dan memanggulnya di pundak, dia lalu berangkat pergi; segera setelah dia datang kembali, dia lalu ikut bersama dengan pimpinannya, yang berkata,
"Berdua kita bisa menghadapi seluruh dunia."
Dan tidak lama mereka berjalan, mereka bertemu dengan satu orang pemburu yang berlutut pada satu kaki dan dengan hati-hati membidikkan senapannya.
"Pemburu," kata si pemimpin, "apa yang kamu bidik?"
"Dua mil dari sini," jawabnya, "ada seekor lalat yang hinggap pada pohon Oak, Saya bermaksud untuk menembak mata kiri dari lalat tersebut."

"Oh, ikutlah dengan saya," kata si Pemimpin, "Bertiga kita bisa menghadapi seluruh dunia"
Pemburu tersebut sangat ingin ikut dengannya, jadi mereka semua berangkat bersama hingga mereka menemukan tujuh kincir angin, yang baling-baling layarnya berputar dengan kencang, walaupun disana tidak ada angin yang bertiup dari arah manapun, dan tak ada daun-daun yang bergerak.
"Wah," kata si Pemimpin, "Saya tidak bisa berpikir apa yang menggerakkan kincir angin, berputar tanpa angin;" dan ketika mereka berjalan sekitar dua mil ke depan, mereka bertemu dengan seseorang yang duduk diatas sebuah pohon, sedang menutup satu lubang hidungnya dan meniupkan napasnya melalui lubang hidung yang satu.
"Sekarang," kata si Pemimpin, "Apa yang kamu lakukan diatas sana?"
"Dua mil dari sini," jawab orang itu, "disana ada tujuh kincir angin; saya meniupnya hingga mereka dapat berputar."
"Oh, ikutlah dengan saya," bujuk si Pemimpin, "Berempat kita bisa menghadapi seluruh dunia."
Jadi si Peniup turun dan berangkat bersama mereka, dan setelah beberapa saat, mereka bertemu dengan seseorang yang berdiri diatas satu kaki, dan kaki yang satunya yang dilepas, tergeletak tidak jauh darinya.
"Kamu terlihat mempunyai cara yang unik saat beristirahat," kata si Pemimpin kepada orang itu.
"Saya adalah seorang pelari," jawabnya, "dan untuk menjaga agar saya tidak bergerak terlalu cepat Saya telah melepas sebuah kaki saya, Jika saya menggunakan kedua kaki saya, Saya akan jauh lebih cepat dari pada burung yang terbang."
"Oh, ikutlah dengan saya," kata si Pemimpin, "Berlima kita bisa menghadapi seluruh dunia."
Jadi mereka akhirnya berangkat bersama, dan tidak lama setelahnya, mereka bertemu dengan seseorang yang memakai satu topi kecil, dan dia memakainya hanya tepat diatas satu telinganya saja.
"Bersikaplah yang benar! bersikaplah yang benar!" kata si Pemimpin; "dengan topi seperti itu, kamu kelihatan seperti orang bodoh."

"Saya tidak berani memakai topi ini dengan lurus," jawabnya lagi, "Jika saya memakainya dengan lurus, akan terjadi badai salju dan semua burung yang terbang akan membeku dan jatuh mati dari langit ke tanah."
Oh, ikutlah dengan saya," kata si Pemimpin; "Berenam kita bisa menghadapi seluruh dunia."
Jadi orang yang keenam ikut berangkat bersama hingga mereka mencapai kota dimana raja yang menyebabkan penderitaannya akan memulai pertandingan dimana siapapun yang jadi pemenang akan dinikahkan dengan putrinya, tetapi siapapun yang kalah akan dibunuh sebagai hukumannya. Lalu si Pemimpin maju kedepan dan berkata bahwa satu dari orangnya akan mewakili dirinya dalam pertandingan tersebut.
"Kalau begitu," kata raja, "hidupnya harus dipertaruhkan, dan jika dia gagal, dia dan kamu harus dihukum mati."
Ketika si Pemimpin telah setuju, dia memanggil si Pelari, dan memasangkan kakinya yang kedua pada si Pelari.
"Sekarang, lihat baik-baik," katanya, "dan berjuanglah agar kita menang."
Telah disepakati bahwa siapapun yang paling pertama bisa membawa pulang air dari anak sungai yang jauh dan telah ditentukan itu akan dianggap sebagai pemenang. Sekarang putri raja dan si Pelari masing-masing mengambil kendi air, dan mereka mulai berlari pada saat yang sama; tetapi dalam sekejap, ketika putri raja tersebut berlari agak jauh, si Pelari sudah hilang dari pandangan karena dia berlari secepat angin. Dalam sekejap dia telah mencapai anak sungai, mengisi kendinya dengan air dan berlari pulang kembali. Ditengah perjalanan pulang, dia mulai merasa kelelahan, dan berhenti, menaruh kendinya dilantai dan berbaring di tanah untuk tidur. Agar dapat terbangun secepatnya dan tidak tertidur pulas, dia mengambil sebuah tulang tengkorak kuda yang tergeletak didekatnya dan menggunakannya sebagai bantal. Sementara itu, putri raja, yang sebenarnya juga pelari yang baik dan cukup baik untuk mengalahkan orang biasa, telah mencapai anak sungai juga, mengisi kendinya dengan air, dan mempercepat larinya pulang kembali, saat itu dia melihat si Pelari yang telah tertidur di tengah jalan.
"Hari ini adalah milik saya," dia berkata dengan gembira, dan dia mengosongkan dan membuang air dari kendi si Pelari dan berlari pulang. Sekarang hampir semuanya telah hilang tetapi si Pemburu yang juga berdiri di atas dinding kastil, dengan matanya yang tajam dapat melihat semua yang terjadi.
"Kita tidak boleh kalah dari putri raja," katanya, dan dia mengisi senapannya, mulai membidik dengan teliti dan menembak tengkorak kuda yang dijadikan bantal dibawah kepala si Pelari tanpa melukai si Pelari. Si Pelari terbangun dan meloncat berdiri, dan melihat banya kendinya telah kosong dan putri raja sudah jauh berlari pulang ke tempat pertandingan dimulai. Tanpa kehilangan keberaniannya, dia berlari kembali ke anak sungai, mengisi kendinya kembali dengan air, dan untuk itu, dia berhasil lari pulang kembali 10 menit sebelum putri raja tiba.
"Lihat," katanya; "ini adalah pertama kalinya saya benar-benar menggunakan kaki saya untuk berlari"
Raja menjadi jengkel, dan putrinya lebih jengkel lagi, karena dia telah dikalahkan oleh serdadu biasa yang telah dipecat; adn mereka berdua sepakat untuk menyingkirkan serdadu beserta pengikutnya bersama-sama.
"Saya punya rencana," jawab sang Raja; "jangan takut tetapi kita harus mendiamkan mereka selama-lamanya." Kemudian mereka menemui serdadu dan pengikutnya, mengundang mereka untuk makan dan minum; dan sang Raja memimpin mereka menuju ke sebuah ruangan, yang lantainya terbuat dari besi, pintunya juga terbuat dari besi, dan di jendelanya terdapat rangka-rangka besi; dalam ruangan itu ada sebuah meja yang penuh dengan makanan.
"Sekarang, masuklah kedalam dan buatlah dirimu senyaman mungkin," kata sang Raja.
Ketika serdadu dan pengikutnya semua masuk, dia mengunci pintu tersebut dari luar. Dia kemudian memanggil tukang masak, dan menyuruhnya untuk membuat api yang sangat besar dibawah ruangan tersebut hingga lantai besi menjadi sangat panas. Dan tukang masak tersebut melakukan apa yang diperintahkan oleh Raja, dan keenam orang didalamnya mulai merasakan ruangan menjadi panas, tapi berpikir bahwa itu karena makanan yang mereka makan, seiring dengan suhu ruangan yang bertambah panas, mreka menyadari bahwa pintu dan jendela telah dikunci rapat, mereka menyadari rencana jahat sang raja untuk membunuh mereka.
"Bagaimanapun juga, dia tidak akan pernah berhasil," kata laki-laki dengan topi kecil; "Saya akan membawa badai salju yang akan membuat api merasa malu pada dirinya sendiri dan merangkak pergi."
Dia lalu memasang topinya lurus diatas kepala, dan secepat itu badai salju datang dan membuat semua udara panas menjadi hilang dan makanan menjadi beku diatas meja. Setelah satu atau dua jam berlalu, Raya menyangka bahwa mereka telah terbunuh karena panas, dan menyuruh untuk membuka kembali pintu ruangan tersebut, dan masuk kedalam untuk melihat keadaan mereka. Ketika pintu terbuka lebar, mereka berenam ternyata selamat dan terlihat mereka telah siap untuk keluar untuk menghangatkan diri karena ruangan tersebut terlalu dingin dan menyebabkan makanan di meja menjadi beku. Dengan penuh kemarahan, raja mendatangi tukang masak, mencaci dan menanyakan mengapa tukang masak itu tidak melaksanakan apa yang diperintahkan.
"Ruangan tersebut cukup panas; kamu mungkin bisa melihatnya sendiri," kata tukang masak. Sang Raja melihat kebawah ruangan besi tersebut dan melihat api yang berkobar-kobar di bawahnya, dan mulai berpikir bahwa keenam orang itu tidak dapat disingkirkan dengan cara itu. Dia mulai memikirkan rencana baru, jadi dia memanggil serdadu yang menjadi pemimpin tersebut dan berkata kepadanya,
"Jika kamu tidak ingin menikahi putri saya dan memilih harta berupa emas, kamu boleh mengambilnya sebanyak yang kamu mau."
"Baiklah, tuanku Raja," jawab si Pemimpin; "biarkan saya mengambil emas sebanyak yang dapat dibawa oleh pengikutku, dan saya tidak akan menikahi putrimu." Raja setuju bahwa si Pemimpin akan datang dalam dua minggu untuk mengambil emas yang dijanjikan. Si Pemimpin memanggil semua penjahit yang ada di kerajaan tersebut dan menyuruh mereka untuk membuat karung yang sangat besar dalam dua minggu. Dan ketika karung itu telah siap, orang kuat (yang dijumpai mencabut dan mengikat pohon) memanggul karung tersebut di pundaknya dan menghadap sang Raja.

"Siapa orang yang membawa buntalan sebesar rumah di pundaknya ini?" teriak sang Raja, ketakutan karena memikirkan banyaknya emas yang bisa dibawa pergi. Dan satu ton emas yang biasanya diseret oleh 16 orang kuat, hanya di panggulnya di pundak dengan satu tangan.
"Mengapa tidak kamu bawa lebih banyak lagi? emas ini hanya menutupi dasar dari kantung ini!" Jadi raja menyuruh untuk mengisinya perlahan-lahan dengan seluruh kekayaannya, dan walaupun begitu, kantung tersebut belum terisi setengah penuh.
"Bawa lebih banyak lagi!" teriak si Kuat; "harta-harta ini belum berarti apa-apa!" Kemudian akhirnya 7000 kereta yang dimuati dengan emas yang dikumpulkan dari seluruh kerajaan berakhir masuk dalam karungnya.
"Kelihatannya belum terlalu penuh," katanya, "tetapi saya akan membawa apa yang bisa saya bawa." walaupun dalam karung tersebut masih tersedia ruangan yang kosong.
"Saya harus mengakhirinya sekarang," katanya; "Jika tidak penuh, sepertinya lebih mudah untuk mengikatnya." Dan orang kuat itu lalu menaikkan karung tersebut dipunggungnya dan berangkat pergi bersama dengan teman-temannya.
Si Peniup meniup pasukan yang mengejar merekaKetika sang Raja melihat semua kekayaan dari kerajaanya dibawa oleh hanya satu orang, dia merasa sangat marah, dan dia memerintahkan pasukannya untuk mengejar keenam orang itu dan merampas kembali karung itu dari si Kuat.
Dua pasukan kuda segera dapat mengejar mereka, memerintahkan keenam orang itu untuk menyerah dan menjadi tawanan, dan mengembalikan kembali karung harta itu atau dibunuh.
"Menjadi tawanan, katamu?" kata orang yang bisa meniup, "mungkin kalian perlu menari-nari di udara bersama-sama," dan menutup satu lubang hidungnya, dan meniupkan napas melalui lubang yang satunya, pasukan tersebut beterbangan melewati atas gunung. Tetapi komandan yang memiliki sembilan luka dan merupakan orang yang pemberani, memohon agar mereka tidak dipermalukan. Si Peniup kemudian menurunkannya perlahan-lahan dan memerintahkan agar mereka melaporkan ke sang Raja bahwa pasukan apapun yang dikirim kan untuk mengejar mereka, akan mengalami nasib yang sama dengan pasukan ini. Dan ketika sang Raja mendapat pesan tersebut, berkata,
"Biarkanlah mereka; mereka mempunyai hak atas harta itu." Jadi keenam orang itu membawa pulang harta mereka, membagi-bagikannya dan hidup senang sampai akhir hayat mereka.

Friday, February 19, 2016

Buku Karangan Bacharuddin Jusuf Habibie : Detik-Detik yang Menentukan ( Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi )


Kilas Pengarang
Prof. Dr.-Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng[1] (lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936.adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Ia menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Jabatannya digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih sebagai presiden pada 20 Oktober 1999 oleh MPR hasil Pemilu 1999. Dengan menjabat selama 2 bulan dan 7 hari sebagai wakil presiden, dan 1 tahun dan 5 bulan sebagai presiden, Habibie merupakan Wakil Presiden dan juga Presiden Indonesia dengan masa jabatan terpendek. Saat ini namanya diabadikan sebagai nama salah satu universitas di Gorontalo, menggantikan nama Universitas Negeri Gorontalo.
Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Ayahnya yang berprofesi sebagai ahli pertanian berasal dari etnis Gorontalo dan memiliki keturunan Bugis, sedangkan ibunya beretnis Jawa. R.A. Tuti Marini Puspowardojo adalah anak seorang spesialis mata di Yogya, dan ayahnya yang bernama Puspowardjojo bertugas sebagai pemilik sekolah. B.J. Habibie menikah dengan Hasri Ainun Besari pada tanggal 12 Mei 1962, dan dikaruniai dua orang putra, yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie.Ia pernah berilmu di SMAK Dago.Ia belajar teknik mesin di Universitas Indonesia Bandung (Sekarang Institut Teknologi Bandung) tahun 1954. Pada 1955-1965 ia melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang, di RWTH Aachen, Jerman Barat, menerima gelar diplom ingenieur pada 1960 dan gelar doktor ingenieur pada 1965

Prolog 
Prahara  kembali  menghantam  bangsa  Indonesia  dalam  siklus  30  tahunan. Kemelut politik pada pertengahan  dekade 1960-an kembali berulang menjadi krisis multidimensional  yang  diawali dengan adanya  krisis  moneter  pada  pertengahan 1997. 
Salah  urus  kenegaraan  memasuki  tahun  1960-an,  telah  membawa  Indonesia dalam  kesulitan ekonomi yang  sangat  berat.  Inflasi  mencapai  650  persen.  Korupsi merajalela. Barang kebutuhan  pokok  sehari-hari  mengalami kelangkaan dimana-mana. Kondisi buruk tersebut diperparah oleh krisis politik yang akhirnya memuncak pada tragedi nasional dengan korban jiwa banyak orang pada tanggal 30 September 1965. Melalui usaha keras disertai bantuan negara-negara donor, Indonesia akhirnya berhasil bangkit kembali.  Selama  tiga  dasawarsa  berikutnya,  Indonesia  menikmati pertumbuhan  ekonomi yang mengesankan, bahkan disebut sebagai Negara Asia Berkinerja Tinggi oleh Bank Dunia. Memasuki dasawarsa 1990-an, pemerintahan Orde Baru mulai menampakkan kekurangan-kekurangannya yang mendapat kritik tajam, karena pemerintahan yang terlalu sentralistis, serta munculnya korupsi, kolusi, dan nepotisme secara signifikan. 
Tetapi,  semua  kritik  tersebut  tidak  mendapat  perhatian  yang  serius  dari pemerintahan saat itu. Sementara dalam pembangunan perekonomian di Indonesia, tampak pertumbuhan yang sangat pesat, bahkan dalam laporan tahunan 1997, Bank Dunia masih meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tingkat rata-rata 7,8 persen. Dalam pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu, pada pertengahan 1997, timbullah 
krisis  moneter  di  mana  situasi  semakin  tidak  terkontrol  dan  berkembang  menjadi krisis multidimensional  berkepanjangan  di  berbagai  bidang.  Efeknya  sangat menyengsarakan rakyat. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia adalah efek domino dari krisis serupa yang dimulai dengan menurunnya nilai mata uang Thailand baht terhadap dolar AS pada  2  Juli  1997,  dari  24,7  baht  per  dolar  AS menjadi  29,1  baht  per  dolar  AS. 
Puncak  krisis  moneter  di  Thailand  tersebut  adalah  penutupan  56  dari  58  lembaga keuangan utama pada 8 Desember 1997. Krisis penurunan nilai mata  uang bath diikuti negaranegara Asia Tenggara dan Asia Timur lainnya, seperti Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Korea Selatan. Negaranegara  ini  diperkirakan memiliki  struktur  perekonomian  tidak  jauh  berbeda  dengan Thailand. Krisis memicu pelarian modal asing dari negara-negara tersebut, membuat sistem perbankan di negara-negara tersebut ambruk satu demi satu.

Penasaran Dengan Bukunya.? Klik Di sini:  Detik-detik Yang Menentukan 

Novel Klasik Indonesia: Ronggeng Dukuh Paruk Karangan Ahmad Tohari.


Ronggeng Dukuh Paruk merupakan novel karangan Ahmad Tohari, yang menceritakan tentang gadis penari ronggeng bernama srintil. dan diangkat menjadi cerita layar kaca yang di beri judul sang penari. Film ini dibidani oleh Ifa Ifansyah dan mendapat banyak penghargaan diantaranya, Sebagai Film terbaik  FFI 2011, sutradara terbaik FFI 2011, pemeran utama wanita terbaik 2011.

Tentang Pengarang:

KEMARAU di kawasan Banyumas, Jawa Tengah, pada masa kini mungkin tidak lagi sedahsyat akibatnya
dibanding masa lalu, ketika hutan-hutan jati di daerah Jatilawang mengering, tanah pecah-pecah, penduduk merana kelaparan. Dulu, seperti ditunjukkan Ahmad Tohari (57), penulis yang pernah menghasilkan novel Ronggeng Dukuh Paruk, hutan menyala menjadi korban kebakaran akibat pertikaian politik yang menyusup sampai ke desa-desa pada masa sebelum 1965.
Ahmad Tohari dilahirkan di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas tanggal 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya hanya sampai SMAN II Purwokerto. Namun demikian beberapa fakultas seperti ekonomi, sospol, dan kedokteran pernah dijelajahinya. Semuanya tak ada yang ditekuninya. Ahmad Tohari
tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya yang mewarnai seluruh karya sastranya.
Lewat trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (dua yang lainnya Lintang Kemukus Dinihari dan Jentera Bianglala),
ia telah mengangkat kehidupan berikut cara pandang orang-orang dari lingkungan dekatnya ke pelataran
sastra Indonesia. Sesuai tahun-tahun penerbitannya, karya Ahmad Tohari adalah Kubah (novel, 1980),
Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982) Lintang Kemukus Dinihari (novel, 1984), Jentera Bianglala (novel,
1985), Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1989), Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1990), Lingkar Tanah
Lingkar Air (novel, 1993), Bekisar Merah (novel, 1993), Mas Mantri Gugat (kumpulan kolom, 1994).
Karya-karya Ahmad Tohari telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Cina, Belanda dan Jerman. Edisi
bahasa Inggrisnya sedang disiapkan penerbitannya.

Sinopsis:
Sepasang burung bangau melayang meniti angin berputar-putar tinggi di langit. Tanpa sekalipun mengepak sayap, mereka mengapung berjam-jam lamanya. Suaranya melengking seperti keluhan panjang.Air. Kedua unggas itu telah melayang beratus-ratus kilometer mencari genangan air. Telah lama mereka  merindukan amparan lumpur tempat mereka mencari mangsa; katak, ikan, udang atau serangga air lainnya.
Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi Dukuh Paruk telah tujuh bulan kerontang. Sepasang burung bangau itu takkan menemukan genangan air meski hanya selebar telapak kaki. Sawah berubah menjadi padang kering berwarna kelabu. Segala jenis rumput, mati. Yang menjadi bercak-bercak hijau di sana-sini adalah kerokot, sajian alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik. Tumbuhan jenis kaktus ini justru hanya muncul di sawah sewaktu kemarau berjaya.
Di bagian langit lain, seekor burung pipit sedang berusaha mempertahankan nyawanya. Dia terbang bagai batu lepas dari katapel sambil menjerit sejadi-jadinya. Di belakangnya, seekor alap-alap mengejar dengan kecepatan berlebih. Udara yang ditempuh kedua binatang ini membuat suara desau. Jerit pipit kecil itu terdengar ketika paruh alap-alap menggigit kepalanya. Bulu-bulu halus beterbangan. Pembunuhan terjadi diudara yang lengang, di atas Dukuh Paruk.

Baca Selengkapnya: Ronggeng Dukuh Paruk

Thursday, February 18, 2016

Tornado Juga Ada Di Indonesia, Ini Buktinya



Tornado adalah kolom udara yang berputar kencang yang membentuk hubungan antara awan cumulonimbus atau dalam kejadian langka dari dasar awan cumulus dengan permukaan tanah. Tornado muncul dalam banyak ukuran namun umumnya berbentuk corong kondensasi yang terlihat jelas yang ujungnya yang menyentuh bumi menyempit dan sering dikelilingi oleh awan yang membawa puing-puing.

Umumnya tornado memiliki kecepatan angin 177 km/jam atau lebih dengan rata-rata jangkauan 75 m dan menempuh beberapa kilometer sebelum menghilang. Beberapa tornado yang mencapai kecepatan angin lebih dari 300–480 km/jam memiliki lebar lebih dari satu mil (1.6 km) dan dapat bertahan di permukaan dengan lebih dari 100 km.

Meskipun tornado telah diamati di tiap benua kecuali Antartika, tornado lebih sering terjadi di Amerika Serikat.[4] Tornado juga umumnya terjadi di Kanada bagian selatan, selatan-tengah dan timur Asia, timur-tengah Amerika Latin, Afrika Selatan, barat laut dan tengah Eropa, Italia, barat dan selatan Australia, dan Selandia Baru.

Etimologi
Kata "tornado" merupakan perubahan dari kata dalam Bahasa Spanyol tronada, yang berarti "badai petir". Kemudian, kata tornado juga diambil dari Bahasa Latin tonare, yang berarti "gemuruh". Kata ini sangat mungkin merupakan kombinasi dari bahasa Spanyol tronada dan tornar ("berputar"); namun, kata ini mungkin juga merupakan suatu etimologi rakyat.Tornado juga secara umum dikenal sebagai twisters.

Jenis
Tornado multi-pusaran
Tornado multi-pusaran adalah suatu jenis tornado dimana dua atau lebih kolom udara yang menggumpal berputar mengelilingi pusat. Struktur multi-pusaran dapat terjadi di hampir setiap sirkulasi, namun sangat sering teramati dalam tornado dahsyat.
Satelit tornado
Satelit tornado adalah suatu istilah untuk tornado lemah yang terbentuk dekat tornado besar kuat yang terjadi dalam mesosiklon yang sama. Satelit tornado muncul dari "orbit" tornado besar (sebagai namanya), yang memperlihatkan wujud pusaran yang multi-pusaran. Namun, satelit tornado merupakan corong yang berbeda, dan lebih kecil dibandingkan corong utama.

Puting Beliung
Puting Beliung secara resmi digambarkan secara singkat oleh National Weather Service Amerika Serikat seperti tornado yang melintasi perairan. Namun, para peneliti umumnya mencirikan puting beliung "cuaca sedang" berasal dari puting beliung tornado.
Puting beliung cuaca sedang sedikit perusak namun sangat jauh dari umumnya dan memiliki dinamik yang sama dengan setan debu dan landspout.[13] Mereka terbentuk saat barisan awan cumulus congestus menjulang di perairan tropis dan semitropis. Angin ini memiliki angin yang secara relatif lemah, dinding berlapis lancar, dan umumnya melaju sangat pelan. Angin ini sangat sering terjadi di Florida Keys.
Puting Beliung Tornado merupakan secara harafiah sebutan untuk "tornado yang melintasi perairan". Angin ini dapat terbentuk melintasi perairan seperti tornado mesosiklon, atau menjadi tornado darat yang melintas keluar perairan. Sejak angin ini terbentuk dari badai petir perusak dan dapat menjadi jauh lebih dahsyat, kencang, dan bertahan lebih lama daripada puting beliung cuaca sedang, angin ini dianggap jauh lebih membahayakan..

Popular Posts

Blog Archive

Disqus Shortname

Comments system