Friday, February 19, 2016

Buku Karangan Bacharuddin Jusuf Habibie : Detik-Detik yang Menentukan ( Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi )


Kilas Pengarang
Prof. Dr.-Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng[1] (lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936.adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Ia menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Jabatannya digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih sebagai presiden pada 20 Oktober 1999 oleh MPR hasil Pemilu 1999. Dengan menjabat selama 2 bulan dan 7 hari sebagai wakil presiden, dan 1 tahun dan 5 bulan sebagai presiden, Habibie merupakan Wakil Presiden dan juga Presiden Indonesia dengan masa jabatan terpendek. Saat ini namanya diabadikan sebagai nama salah satu universitas di Gorontalo, menggantikan nama Universitas Negeri Gorontalo.
Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Ayahnya yang berprofesi sebagai ahli pertanian berasal dari etnis Gorontalo dan memiliki keturunan Bugis, sedangkan ibunya beretnis Jawa. R.A. Tuti Marini Puspowardojo adalah anak seorang spesialis mata di Yogya, dan ayahnya yang bernama Puspowardjojo bertugas sebagai pemilik sekolah. B.J. Habibie menikah dengan Hasri Ainun Besari pada tanggal 12 Mei 1962, dan dikaruniai dua orang putra, yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie.Ia pernah berilmu di SMAK Dago.Ia belajar teknik mesin di Universitas Indonesia Bandung (Sekarang Institut Teknologi Bandung) tahun 1954. Pada 1955-1965 ia melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang, di RWTH Aachen, Jerman Barat, menerima gelar diplom ingenieur pada 1960 dan gelar doktor ingenieur pada 1965

Prolog 
Prahara  kembali  menghantam  bangsa  Indonesia  dalam  siklus  30  tahunan. Kemelut politik pada pertengahan  dekade 1960-an kembali berulang menjadi krisis multidimensional  yang  diawali dengan adanya  krisis  moneter  pada  pertengahan 1997. 
Salah  urus  kenegaraan  memasuki  tahun  1960-an,  telah  membawa  Indonesia dalam  kesulitan ekonomi yang  sangat  berat.  Inflasi  mencapai  650  persen.  Korupsi merajalela. Barang kebutuhan  pokok  sehari-hari  mengalami kelangkaan dimana-mana. Kondisi buruk tersebut diperparah oleh krisis politik yang akhirnya memuncak pada tragedi nasional dengan korban jiwa banyak orang pada tanggal 30 September 1965. Melalui usaha keras disertai bantuan negara-negara donor, Indonesia akhirnya berhasil bangkit kembali.  Selama  tiga  dasawarsa  berikutnya,  Indonesia  menikmati pertumbuhan  ekonomi yang mengesankan, bahkan disebut sebagai Negara Asia Berkinerja Tinggi oleh Bank Dunia. Memasuki dasawarsa 1990-an, pemerintahan Orde Baru mulai menampakkan kekurangan-kekurangannya yang mendapat kritik tajam, karena pemerintahan yang terlalu sentralistis, serta munculnya korupsi, kolusi, dan nepotisme secara signifikan. 
Tetapi,  semua  kritik  tersebut  tidak  mendapat  perhatian  yang  serius  dari pemerintahan saat itu. Sementara dalam pembangunan perekonomian di Indonesia, tampak pertumbuhan yang sangat pesat, bahkan dalam laporan tahunan 1997, Bank Dunia masih meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tingkat rata-rata 7,8 persen. Dalam pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu, pada pertengahan 1997, timbullah 
krisis  moneter  di  mana  situasi  semakin  tidak  terkontrol  dan  berkembang  menjadi krisis multidimensional  berkepanjangan  di  berbagai  bidang.  Efeknya  sangat menyengsarakan rakyat. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia adalah efek domino dari krisis serupa yang dimulai dengan menurunnya nilai mata uang Thailand baht terhadap dolar AS pada  2  Juli  1997,  dari  24,7  baht  per  dolar  AS menjadi  29,1  baht  per  dolar  AS. 
Puncak  krisis  moneter  di  Thailand  tersebut  adalah  penutupan  56  dari  58  lembaga keuangan utama pada 8 Desember 1997. Krisis penurunan nilai mata  uang bath diikuti negaranegara Asia Tenggara dan Asia Timur lainnya, seperti Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Korea Selatan. Negaranegara  ini  diperkirakan memiliki  struktur  perekonomian  tidak  jauh  berbeda  dengan Thailand. Krisis memicu pelarian modal asing dari negara-negara tersebut, membuat sistem perbankan di negara-negara tersebut ambruk satu demi satu.

Penasaran Dengan Bukunya.? Klik Di sini:  Detik-detik Yang Menentukan 

No comments:

Popular Posts

Blog Archive

Disqus Shortname

Comments system